Siswa SMA Sekolah Sambil Berjualan Slondok



Kabar24.com – Akhir-akhir ini nama dan wajah Desi Priharyana, siswa SMK Negeri 2 Yogyakarta jadi perbincangan di media sosial facebook. Desi Priharyana jadi sorotan di media sosial karena setiap hari, tanpa malu ia bersekolah sambil berjualan slondok, makanan tradisional berbahan baku singkong.

Ketika remaja lain seusianya masih tidur, atau setidaknya masih bersiap ke sekolah, sekitar pukul 05.00 WIB Desi Triharyana sudah mengayuh sepeda onta dari rumahnya di Dusun Toino, Pandowoharjo, Sleman.

Lengkap dengan seragam putih abu-abu dia menuju sekolahnya di SMKN 2 di daerah Jetis Yogyakarta. Tetapi ada yang berbeda dengan perlengkapan yang dia bawa. Siswa kelas X itu tidak sekadar menyandang tas berisi buku, tetapi di bagian belakang sepedanya terdapat bronjong besar warna hijau.

Puluhan bungkus slondok dia masukkan ke bronjong itu. Mirip dengan orang yang hendak pergi ke pasar. Selama menempuh perjalanan sejauh 12 kilometer menuju sekolahnya, sering kali dia harus berhenti beberapa kali. Bukan karena kelelahan, melainkan ada pembeli yang menanti slondoknya. Dengan penuh senyum, Desi pun melayani pembeli.

Begitulah sehari-hari kehidupan Desi.

Di saat teman-teman sebayanya hidup penuh gaya, meraung-raung di jalan dengan sepeda motor terbaru saat berangkat dan pulang sekolah, Desi menyusuri jalan dengan sepeda tua sambil mencari rezeki.

Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Desi sudah memiliki jiwa wirausaha sejak duduk di bangku kelas III SD. Saat itu dia melihat tetangganya yang berjualan roti dan tertarik untuk menjualnya di sekolah. Tak disangka dagangannya laris manis. Itulah awal mula Desi bersemangat membantu perekonomian keluarganya. Ketika ditemui di sekolahnya, Rabu (22/1) pagi, Desi sedang mengurus sejumlah keperluan OSIS.

Remaja kelahiran 1995 ini ternyata aktif menjadi pengurus OSIS di sekolahnya. Setelah selesai dengan kegiatannya, Desi menunjukkan sepeda ontel andalan serta dagangan slondoknya dengan senang hati. Satu bungkus slondok dijual Desi seharga Rp7.000. Slondok tersebut adalah buatan budhenya. Rasanya dijamin enak karena singkong sebagai bahan utamanya berasal dari Wonosobo.

“Enggak sembarangan karena bahan itu mempengaruhi rasa,” ucap Desi meyakinkan.

Desi mulai berjualan slondok sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, dia coba-coba menjajakan slondok di sekolah. Ternyata 10 bungkus, 30 bungkus, bahkan pernah berhasil menjual 70 bungkus dalam sehari. Pada masa-masa liburan setelah ujian akhir nasional SMP, dia pun giat berjualan untuk mengisi kekosongan.

“Coba sambil dolan-dolan, keliling cari buat pendaftaran SMK yang bagus mana sambil bawa dagangan slondok. Itu sampai Tempel, Kalasan, saya nyepeda,” papar Desi.

Hasilnya? Cukup besar untuk ukuran remaja seumuran Desi.

Saat liburan setelah ujian SMP, dia mengaku bisa mengumpulkan uang hingga Rp1,5 juta. Jika hari biasanya, dia memperoleh keuntungan hingga Rp250.000 per bulan.

“Saya ambil untung 10 persen. Enggak usah mahal-mahal. Yang penting barang lancar terus. Rasa dipertahankan biar pelanggan tidak hilang,” kata Desi dengan gaya layaknya pengusaha.

Ayah Desi bekerja sebagai pemecah batu, sementara ibunya sudah meninggal sejak 2000. Tak heran jika Desi begitu dewasa dan mandiri. Selain berjualan slondok, setiap sore sepulang sekolah, dia bekerja menjaga sebuah toko sembako milik temannya. Dia hanya pulang sebentar ke rumah untuk membantu membereskan rumah, lalu menjaga toko dan bahkan harus menginap. Pukul 03.00 WIB Desi sudah harus bangun untuk membuka toko. Soal belajar, dia melakukannya di sela-sela menjaga toko tersebut.

Semua itu memang kadang membuat Desi lelah. Hanya saja dia selalu ingat pada moto hidupnyanya, bersusah-susah dulu, bersenang-senang kemudian. Dia juga tidak malu meski harus mengayuh sepeda onthel dan berjualan slondok.

“Orang yang tidak pernah pakai (sepeda onthel) pasti minder,” katanya sambil tersenyum.

Sementara dia merasa sudah terbiasa, bahkan dia menganggap onthel membuat pembeli tertarik dengan dagangannya. Siswa yang semester lalu mendapat peringkat VII di kelasnya tersebut mengatakan, sudah punya banyak pelanggan slondok.

“Termasuk Pak Polisi yang jaga di situ (depan SMK 2 Jetis). Katanya untuk klethikan (camilan),” ungkap Desi sambil menunjuk ke arah pos polisi yang ada di perempatan dekat sekolahnya.

Ada juga kelompok ibu-ibu pengajian di desanya, teman-teman, dan guru-guru di sekolahnya.

“Wakil Bupati (Yuni Satya Rahayu) juga pernah beli empat bungkus,” tambahnya bangga.

Saat ini Desi duduk di bangku kelas X. Seharusnya dia sudah kelas XII. Hanya saja saat kelas dua SD, dia pernah berhenti sekolah selama dua tahun karena suatu penyakit. Desi mengaku bangga dengan apa yang sudah dia kerjakan.

“Ini seragam slondok, sepeda slondok, handphone slondok,” katanya sumringah.

Maksudnya apa yang dia kenakan, beberapa merupakan hasil dari berjualan slondok. Ketika akan mengambil ijazah SMP, dia harus membayar Rp300.000. Saat itu ayahnya tidak ada dana, dan diam-diam Desi membayar sendiri uang tersebut dengan tabungannya.

Meskipun sudah cukup umur untuk memiliki SIM, Desi tidak tertarik mengendarai motor.Dia masih akan setia dengan sepedanya. Saat ini, dia juga aktif dalam berbagai komunitas sepeda, salah satunya Sleman Ngepit. Menurutnya, selain polusi, pakai motor itu lebih boros karena harus beli bensin.

Bersama OSIS, Desi berharap bisa membuat gerakan naik sepeda ke sekolah di SMK Negeri 2 Yogyakarta. Tidak hanya bagi siswanya, tapi juga guru dan karyawan.

“Biar juga pada bisa menghargai pengguna sepeda. Itu cita-cita saya yang belum tercapai di semester kemarin,” terang alumnus SMP Negeri 5 Sleman ini.

Dia mengaku bercita-cita jadi pengusaha. Apakah pengusaha slondok?

“Bisa jadi,” jawabnya sambil tertawa. (JIBI/Harian Jogja)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama